Blue 2008

Maro˚✧
5 min readOct 29, 2022

Alisha terduduk membungkuk di depan rumahnya, mengikat tali sepatu conversenya yang setiap pagi semrawut diikuti dengan wajahnya yang masam. Ia tidak pernah handal mengikat sepatunya, sementara adiknya, Arik, menertawainya dengan puas dari arah pintu rumah. Namun apa salahnya cewek berumur tujuh belas tahun tidak memiliki kemampuan mengikat sepatunya? Hanya mendengus kesal, Alisha mengikat tali sepatunya seadanya dan bergegas ke arah mobil seiring memberi tatapan sinis kepada adiknya itu. “Pudding kamu aku makan kemarin!” Sahut Alisha kencang dengan cepat menutup pintu mobil yang tidak lama terdengar suara isakan Arik mengadu kepada Bunda dari dalam rumah.

“Seneng banget, ya, ngerjain adiknya?” Alisha terkekeh mendengar sindiran halus dari Ayahnya yang selalu terlihat rapih dan tampan setiap paginya. Gila, ya, bagaimana bisa setampan ini untuk seorang Ayah? Alisha selalu mendewa-dewakan Ayahnya sedari kecil dan mengatakan bahwa beliau adalah cinta pertamanya. Namun Ayah hanya tertawa setiap mendengar pengakuan cinta anaknya itu, dan mengatakan bahwa masih banyak cinta yang belum ia telusuri. “Belum nanti Alisha punya pacar. Ayah yakin nanti pasti Alisha lupa begitu aja sama Ayah,” adalah kalimat yang selalu disangkal oleh Alisha. Ia pikir mencari pacar bukanlah prioritasnya sekarang. Ia sangat berdedikasi untuk menjadi wanita yang berpendidikan tinggi. Namun untuk saat ini hal yang bisa ia nikmati adalah duduk berdua dengan Ayah di mobil Toyota Avanza keluaran 2008 kesayangan Ayahnya, diiringi dengan sambutan FM pagi yang menemani mereka selama perjalanan ke sekolah.

“Belajar yang tekun, ya, anak ayah,” ucap Ayah seraya mengecup jidat Alisha lembut. Alisha hanya mengangguk mantap dengan senyumannya yang lebar sampai matanya ikut tersenyum hingga ia turun dari mobil.

Di saat yang bersamaan, mobil Mitsubishi Pajero berwarna biru keluaran tahun 2008 terparkir tepat di sebelah mobil Avanza milih ayah Alisha. Ia tahu betul mobil siapa itu, dan tidak lama keluarlah seorang pemuda tinggi berpakaian bersih nan rapi, dengan paras tampan berkulit sawo matang, serta rambutnya yang tertata rapih dari mobil Pajero tersebut. Memperhatikan pemuda itu kembali, Alisha menyadari ada yang berbeda hari ini. “Kak Hesa potong rambut, ya?”

Pemuda yang disebut bernama Hesa itu menoleh dan menunjukkan senyum giginya yang rapih. “Cakep gak, Al?”
Tanyanya yang membuat Alisha berpikir bahwa Kak Hesa tidak terlihat buruk juga, melainkan terlihat lebih tampan dan rapih dari biasanya. Tapi tetap saja bagi seorang Alisha jika soal penampilan, Ayahnya masih nomor satu. “Masih cakepan Ayah aku, Kak,” balas Alisha tanpa pikir panjang. Hesa hanya tertawa sambil mengekori gadis itu dari belakang.

Sudah satu tahun Alisha mengulangi rutinitas yang sama setiap paginya semenjak masuk SMA. Kak Hesa yang merupakan kakak kelas Alisha itu juga dikenal dengan kepintarannya dan kecekatannya dalam mengambil hati guru. Namun siapa sangka seorang Kak Hesa masih diantar orang tuanya naik mobil ke sekolah setiap paginya? Tetapi dari situ juga Alisha dan Hesa selalu dapat berbagi cerita setiap paginya sepanjang perjalanan mereka menuju pintu gerbang sekolah mereka yang lumayan besar untuk SMA negeri di Jakarta. Sekolah mereka juga dapat terbilang sekolah unggulan pada saat itu. But when there’s a good thing about school, there will always be a minus about it. Dalam kasus Alisha, sekolahnya sangat menerapkan sistem senioritas. Jadi hubungan Alisha dengan Kak Hesa juga hanya sampai pintu gerbang sekolahnya saja. Alisha pun sudah cukup senang hanya dengan mengenal dan mengobrol dengan Kak Hesa setiap paginya.

“Alisha aku lihat lho.” Suara berat seorang cewek terbisikkan kepada kuping Alisha, yang ia hanya tau bahwa paginya hari ini tidak akan tenang dari celotehan sahabatnya, Miya. “Aku tuh sadar kamu tiap pagi jalan dari parkiran sama Kak Hesa mulu dari kelas sepuluh. Kamu nggak diem-diem ternyata adeknya Kak Hesa, kan?! Soalnya nggak mirip banget, kamu kan kadang suka pura-pura jadi monyet. Meanwhile Kak Hesa itu pure goddess, paket lengkap atau lebih tepatnya dia jatoh dari surga, deh. Mana hari ini rambutnya baru, ya! Makin ganteng banget. Fresh cut!
Alisha hanya menggeleng kepala dan beranjak pergi ke kelas meninggalkan temannya yang menyeloteh sendiri.

Kak Hesa itu kebanggaan sekolah. Sudah berapa banyak piala yang ia rebut dari olimpiade sains yang lawannya dari bermacam-macam daerah itu. Bagi Alisha, kakak kelasnya itu sangat out of league! Namun ia cukup hanya dengan mengenal Kak Hesa yang sebenarnya anak mami dan belum bisa mandiri-membawa kendaraan pribadi seperti teman-temannya yang lain. Hanya dengan mengetahui fakta itu, hati kecilnya selalu menari. Adakala Miya selalu kekeh mengatakan bahwa itu perasaan suka, baginya hal yang ia rasakan hanya kekaguman dengan semua pencapaian kakak kelasnya itu.

“Hari ini dikuncir dua?” Kak Hesa terkekeh geli melihat Alisha dengan lucunya berkuncir dua hari ini sebab klub cheers akan pergi mendukung tim basket di DBL siang nanti.

“Berarti nanti dispen dong? Semangat, ya, Alisha!” Dukungan dari Kak Hesa cukup untuk Alisha bersemangat meneriaki tim basket sekolahnya sampai besok. Keduanya berbincang seru sampai tak terasa sudah sampai di depan pintu gerbang sekolah mereka, dimana mereka harus pura-pura tidak mengenal satu sama lain.

Saat Alisha hendak berpamit, anehnya Kak Hesa menghentikannya kali ini dengan tatapan sendu, namun bibirnya terlihat ingin mengatakan sesuatu. Alisha kebingungan, matanya pun kerap mengerjap beberapa kali, jantungnya berdetak kencang tidak mau mendengarkan otaknya. “Mau ngomong apa, Kak?” Tanya Alisha memecah keheningan.

“Aku besok udah nggak naik mobil lagi, Al.” Semakin bingung, Alisha mengernyitkan dahinya. Tidak mungkin kan tiba-tiba Kak Hesa naik kuda lumping? Saat Alisha bertanya kenapa, rupanya Kak Hesa sudah diperbolehkan untuk membawa motor pribadinya mulai besok dan sudah tidak di antar jemput dengan mobil Pajero yang sangat Alisha hapal itu. Alisha hanya tersenyum masam, tidak tau harus berkata apa, dan hanya memberikan ucapan selamat kepada Kak Hesa yang dibalas dengan senyuman giginya yang kini malah membuat hatinya tercubit.

“Kamu naksir Kak Hesa itu, oneng.” Ucapan provokatif Miya keesokan harinya, kali ini berhasil membuat Alisha menjadi sensitif sepanjang hari. Sepanjang di sekolah pun ia tidak ada berpapasan dengan Kak Hesa yang pagi ini sudah berangkat naik motor sendiri. Bahkan ketika sampai di rumah pun ia langsung mengurung diri di kamarnya sampai-sampai tidak mendengar suara mobil Ayahnya yang kembali dari kerja.

Malam itu juga ucapan ayahnya terngiang kembali, ditambah dengan ucapan Miya yang sangat ‘menggangu’ itu. Mungkin ini sudah saatnya ia jujur dengan dirinya sendiri.

Keesokan paginya sangat dinanti-nantikan akhirnya datang juga. Namun, Alisha yang mengira ia akan menyambut paginya dengan perasaan yang sudah mantap, malah disambut dengan berita duka dari kepala sekolah. Bahwa semalam terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa Kak Hesa yang baru pertama kali pulang dengan motor pribadinya itu. Naasnya, hari itu juga pupus harapan Alisha untuk bertemu Kak Hesa demi mengungkapkan perasaannya, melainkan ia harus menyumbang uang duka kepada keluarga Kak Hesa yang ditinggalkan.

Bahkan sampai sekarang pun selalu terkikis diingatannya bila melihat mobil Pajero biru lama di jalan, di umurnya yang kini sudah menyentuh kepala tiga. Kak Hesa akan selalu menjadi cinta pertamanya.

--

--