Maro˚✧
5 min readOct 6, 2022

--

HE DIDN’T EVEN GET TO SAY HELLO TO HIS MOTHER.

A warm hug, a peck on the forehead, someone to tuck you to bed, someone to give the safest place; were some things he couldn’t get. A girlfriend, maybe something he should be grateful of and thank his ancestors for what they had done for him to deserve this, or more likely a motherly wish of a beautiful soul upon the stars somewhere out there, which he believed, always looking out after him.

Here comes your order, monsieur.” Suara itu memecah lamunannya. Bukan, suara itu bukan berasal dari seorang pelayan, melainkan seorang gadis dengan aksen Prancis buatannya, menaruh asal secangkir kopi di hadapan lelaki itu yang sedang duduk tegak di depan laptopnya, tidak bergeming dengan kedatangannya.

Kamar lelaki itu berantakan, tidak seperti biasanya. Gadis itu hanya duduk di atas ranjang, di belakang lelaki itu, memperhatikannya bekerja. “Udah dibuatin kopi, bukannya diminum,” celetuknya. Masih dengan padangan yang tidak lepas dari layar laptopnya, lelaki itu meraih cangkir dan menyeruputnya cepat. “Enak, gak, Kal? Pas, kan? Aku pake biji kopi yang dikasih Lydia waktu itu.”

“Pait,” jawab Raskal singkat. Dia tidak salah, hanya saja untuk situasi ini diperlukan jawaban yang mengandung pendapatnya, bukan sebuah fakta. Hanna mendecak dan menendang kursi yang diduduki Raskal agak kencang menghasilkan Raskal terpental kaget dan lalu menoleh ke arah gadis itu dengan tatapan penuh tanya. “Kenapa sih, buset?! Gak salah, kan?”

“Ya emang,” ujar gadis itu singkat, memalingkan wajahnya yang masam itu.

“Terus salah aku dimana?” Tanya lelaki itu semakin bingung.

“Gak ada sih, aku pingin acting dikit aja, bosen soalnya. Kamu kerja mulu. Lama-lama aku bisa nyekolahin Menil, nih.” Gila perempuan ini, Raskal terbelalak lalu tertawa renyah. Menil yang dimaksud juga adalah kucing yang Raskal pungut di tengah kesibukannya pada saat kelas dua belas. Menil datang begitu saja di depan rumahnya, yang memang tidak ada salahnya untuk lelaki itu memungutnya.

Raskal kembali menghadap laptopnya dan membetulkan duduknya. Sementara Hanna hanya kembali memperhatikan kamar yang sudah seperti kapal pecah itu. Baju bertebaran di mana-mana, kertas-kertas dokumen yang terhampar sembarang di lantai, ditambah dengan tumpukkan bungkus rokok yang tidak wajar jumlahnya. “Orang mah kerja bikin banyak pikiran. Tapi kamu kayaknya kerja biar gak banyak pikiran, ya?” Tanya Hanna.

Yang ditanya tidak menjawab. Hanya terdengar suara dentuman keyboard yang semakin cepat. Sangat tidak nyaman, seperti sedang dihantam dengan emosi yang hampir pecah. Hanna yang memperhatikan itu dengan segera beranjak dan menggenggam kedua tangan lelaki itu cepat. “Kal!”

His trauma is acting up again. Kali ini cukup parah. Bahkan telapak tangan lelaki itu yang biasanya hangat, malah terasa dingin. Entah apa yang ada dipikirannya, Hanna hanya bisa menggenggam tangan Raskal yang bergetar hebat.

“Istirahat dulu, yuk?”

Mereka duduk di ruang tengah unit Raskal. Berbeda dengan unit Hanna, yang biasa mereka tempati untuk melakukan apapun berdua, unit 1027 ini bisa dibilang hanya menjadi tempat singgah yang kebetulan jarang sekali digunakan (kecuali saat Jonah dan lain-lain ke sini), bahkan properti pun hanya seadanya. Maka dari itu, beberapa hari tidak banyak keluar dari unitnya membuat Raskal sangat mencurigakan. Terlebih lagi ia mulai mengurung dan menyibukkan dirinya setelah keduanya kembali dari makam sang bunda.

Sorry for acting up,” ujar Raskal hanya memainkan minumannya; ia dibuatkan teh hangat oleh Hanna setelah kejadian barusan.

Gadis itu hanya menghela nafas kecil lalu tersenyum. “It’s not your fault. Maaf, ya, aku ngajakin ke makam bunda terus. I thought that maybe — kamu kepingin ketemu bunda, jadi aku dengerin Kak Naomi terus ngajak kamu mulu… But I guess it was wrong for me, and only making things worse for you.

“Enggak. Kata siapa coba? Aku seneng ke makam bunda. Cuman emang akunya aja aneh. Maaf.”

“Jangan minta maaf dong. Kamu wajar punya trauma, and it takes courage, time — and… more time for you to get over it.” Hanna mengulum bibirnya, menarik napas, dan terus memperhatikan pergerakan lelaki di hadapannya yang tidak berubah sedari tadi, hanya menundukkan kepalanya dan memainkan minumannya. “Tapi gapapa, kan kita sama-sama belajar. Aku juga suka stress, kan? Masa aku doang yang jadi cewe gila, kamu juga boleh kali. You can smoke as much as you want di depan aku. Aku juga tau kamu ngerokok dari SMA, jadi jangan diem-diem, lagi, ya? It’s not hurt for me to know that you smoke, or so whatever. It’s more hurt for me to see you even hurting without me knowing.”

Raskal masih sering menyalahkan dirinya, mau itu tentang kepergian bundanya, even about the whole thing happened inside of his household that happened for seventeen years straight, that only left him scars, even worse, a big hole inside him. Walaupun sekarang keadaan sudah membaik, dan hidupnya terasa normal, that hole inside of him would sometimes open up and the only way to stay sane is, that’s right, cigarettes (well to most people too). Bahkan ia pertama kali bertemu dengan Jonah sahabat sematinya itu pun karena kebetulan keduanya ingin merokok di belakang sekolah, mereka yang awalnya sinis terhadap satu sama lain tiba-tiba saling bertukar pikiran yang tanpa disadari percakapan mengalir begitu saja, hingga pada akhirnya mereka dipergoki oleh guru kesiswaan dan diskors karena itu, then they eventually began to hang around together a lot.

Keduanya terdiam. Bahkan setelah mengatakan semua itu, Hanna masih tidak yakin bahwa Raskal akan merasa lebih baik. Terkadang dia juga menyadari, banyak sekali hal yang sulit dimengerti dari masing-masing, mau itu Raskal atau pun dirinya sendiri. Hubungan mereka yang hanya berisikan canda tawa selama ini terasa seperti di awang-awang — it felt surreal to the point they were given to face problems they couldn’t even solve.

Tersadar dari lamunannya, Hanna merasakan sebuah tangan melingkar di pinggangnya, and there he is, hugging and snuggling onto her like a baby.

“Lima menit, Na,” ujar Raskal dengan absurdnya, Hanna lalu tertawa lepas dan bercanda akan mengatur timer, yang lalu hanya dibalas Raskal dengan mempererat pelukannya hingga membuat gadis itu sesak nafas.

“Eh bayangin, deh, Kal, kalo tiba-tiba hujan meteor, terus kita lagi begini,” ujar Hanna lalu tertawa kencang dengan perkataannya sendiri, sambil menepuk pundak Raskal pelan.

“Meteor Garden baru iya, kan aku Tao Ming Tse,” timpal lelaki itu yang hanya membuat tawa gadis yang dipeluknya semakin kencang. Merasa tidak nyaman dengan posisinya, Raskal menarik dirinya sambil mendengus kesal. “Eh bisa diem, gak. Lu ketawa mulu jadinya geter, gak enak meluknya.”

Hanna yang melihat ekspresi Raskal saat ini, hanya menahan tawanya lalu merentangkan kedua tangannya. Raskal yang mengerti langsung kembali menenggelamkan dirinya ke pelukan gadis itu.

And by that, they both surely aware that one of the hardest night is finally through.

--

--