The Public Library

Maro˚✧
4 min readJan 25, 2022

Jonah yang sudah tiba di perpustakaan dekat stasiun itu tersontak panik dan refleks memasukkan handphone kalang-kabut ke dalam kantungnya.

Eeeh anjing cantik bat, batinnya ketika matanya itu terpacu kepada sosok gadis — yang ia duga bernama Ollaine itu, berjalan menghampirinya dengan menoleh ke kanan-kiri memandang buku-buku yang tersusun rapi pada rak di sekelilingnya itu. Jonah berusaha untuk tidak terlihat aneh, beberapa kali berdeham dan merapihkan bajunya, sebab ia harus sebisa mungkin membuat first impression yang keren di pertemuan pertama dengan gadis itu (yang mungkin sudah terlambat).

Jonah berpikir untuk menyapanya duluan, namun tiba-tiba mata gadis itu bertemu dengannya. Ia mati kutu. Keduanya bertatap mata cukup lama sampai akhirnya gadis di hadapannya itu membuka suara. “Pardon? Do you have something to say to me?” Ucap gadis itu sedikit berbisik.

Gadis itu tentu belum terlalu familiar dengan Jonah. Merasa sedikit kecewa, namun Jonah memakluminya. Mendengar suara lembut gadis itu, segala kepanikan Jonah seperti terserap kembali, ia dapat berpikir jernih.

Jonah berdeham. “Nice to meet you.” katanya. “Ollaine…Right?” Lanjutnya dengan percaya diri sembari menjulurkan tangannya. Ia juga memberikan senyum terbaiknya.

Ollaine membulatkan matanya dan langsung membalas senyuman lelaki itu canggung. “OH, right — right! Sorry, I didn’t recognize you right away,” ia membalas jabatan tangan lelaki itu, “Jonah… Barista, right?”

Mendengar Ollaine yang salah menyebut namanya, Jonah jadi tertawa.

“Pardon? Jonah Barista? Ma’am did you just mess up with me?” kata Jonah bercanda.

Wait, so it’s not Barista?!” kaget gadis itu mengernyit melepaskan jabatan tangan mereka.

Nope, it’s Jonah Otista Raphael who’s gonna be in your company for the rest of the day,” ucap Jonah membungkuk tidak sampai 90 derajat, memperkenalkan dirinya.

Gadis di hadapannya itu hanya memperhatikan Jonah canggung, masih tidak enak hati karena menyebutkan nama lelaki itu salah.

Bodohhh, batin Ollaine merutuki dirinya sendiri. “Sorry for messing up with your name, IT WAS NOT ON PURPOSE, I swear.”

“And you?” Tanya Jonah tiba-tiba.

Ollaine mengernyit. “Sorry?”

“I wanna know your full name. Since I already told you mine. It’s something in common to introduce ourselves in every first meeting right?” Jelas Jonah.

“OH, right — “ Ollaine mendelik, “I’m Ollaine Jansen. Call me whatever, but not my last name.”

Keduanya terdiam, Jonah tidak memberikan reaksi.

“That’s it?”

Ollaine bingung sendiri. “What else do I need to tell you? Beside we’re on the same age right, and we’re not elementary kids anyway,” sewotnya merasa tidak dihargai. Namun lelaki di hadapannya malah tertawa. Sekali lagi, Ollaine mengernyit.

“Nggak gua bercanda doang, nama lu cantik. Anyway, Indonesian is fine, right? Apa gua harus mode trillingual alias mode ganteng,” celoteh Jonah panjang dengan pandangannya masih terpaku pada wajah cantik gadis itu.

“What the heck was that supposed to mean??” kata Ollaine lalu tertawa ringan.

Jonah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu, “You made a quite fierce impression to me yesterday. Gua kira lu orangnya gak bisa bercanda, so I feel like teasing you a bit,” ungkapnya.

Wajah Ollaine kembali datar seketika mengingat dirinya sedikit kesal dengan tingkah laku lelaki di hadapannya itu yang seenaknya memposting fotonya. “Well my sense of humor isn’t that low to laugh at everything though,” elaknya memalingkan kepala.

Jonah yang memperhatikan itu hanya memasang senyum tipis di bibirnya. “I see.”

“Remembering your behavior, I guess I won’t be going easy on — “ Ucapan Ollaine terpotong saat ia kembali menoleh ke arah Jonah. Sebab wajah lelaki itu sudah berjarak kurang dari sepuluh sentimeter dari wajahnya.

SHIT, kaget!” Umpat gadis itu menjauhkan wajahnya.

“Tuh bisa ngomong Indo?” Kata Jonah setelah melakukan trik bodohnya itu. Mata kedua sejoli itu bertemu, dan Jonah tidak bisa menahan senyumnya. Ia merasa puas dengan reaksi gadis itu.

Ollaine tidak habis pikir, sekilas ia kira Jonah akan menciumnya. But again, he was teasing her.

“I type well in Indonesian but that doesn’t mean I’m actually a good at it,” jawab gadis itu malas. Jonah hanya tertawa.

“Jangan boong lu,” tukas Jonah. Melihat Ollaine yang seperti itu, Jonah justru teringat oleh Lydia, sepupu gadis itu. Mirip banget.

Ollaine hampir naik pitam. “WHY SHOULD I??”

“Kalo gua ngomong kasar gitu lu ngerti kagak?” Tanya Jonah dengan nada riang. Sepertinya ia sudah menyesuaikan dirinya dengan gadis itu. Namun sebaliknya, Ollaine menganggap itu menyebalkan.

“I had lived in Indonesia for 6 years,” jawab gadis itu masih merasa kesal. Jonah menyadari hal itu.

“Kalo gua ngomong anjing, nge****, ko****, dan lain-lain. Lu gak papa?” Tanya Jonah lagi entah keberaniannya dapat dari mana.

Ollaine hanya ternganga, menatap Jonah tidak percaya. Lebih tidak percaya lagi, ia heran mengapa ia mengerti arti kata-kata itu.

Jonah terkekeh, “waduh, ngerti ya…”

“WHY ARE YOU SO CREEPY,” seru gadis itu melengking yang menghasilkan penjaga perpustakaan yang ternyata sedari tadi memperhatikan mereka itu berjalan mendekat dengan tongkatnya.

Als je wilt daten, kom dan niet hier! Jullie zijn er nu uit!” (Kalau mau pacaran jangan disini! Kalian keluar sekarang!) Omel wanita tua itu mengangkat-angkat tongkatnya memukuli Jonah pelan namun agresif.

Jonah hanya memasang wajah konyol, berpura-pura kesakitan. “Ow! Mam was vroeger een honkbalspeler of zo?” (Ibu dulunya pemain bisbol apa gimana?)

Ollaine yang memperhatikan itu hanya bisa tertawa dan menarik lengan lelaki itu, “Let’s get out of here, Raphael!”

Jonah mau tidak mau terseret berlari, dengan lengannya digenggaman gadis itu. Sekilas ia merasa seperti berada di dalam sebuah film. Tetapi ada satu hal yang mengganggunya.

Raphael, she said.

--

--